BAB I
PENDAHULUAN
Teori kognitif lebih mementingkan sebuah proses
belajar dari pada hasil dari belajar itu sendiri. Untuk penganut aliran
kognitif mengungkapkan bahwa belajar bukanlah sekedar melibatkan hubungan
diantara respon dan stimulus. Berbeda dengan model belajar behavioristik yang mempelajari
setiap proses belajar hanya menjadi hubungan stimulus-respon.
Pada model belajar kognitif adalah suatu bentuk
teori belajar yang sering disebut dengan model perseptual. Belajar kognitif
menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh pendangan serta
pemahamannya mengenai situasi yang berhubungan dengan tujuan belajar mereka. Belajar
adalah perubahan pandangan dan pemahaman yang tidak selalu bisa terlihat
sebagai perilaku yang nampak.
Belajar adalah kegiatan yang melibatkan kompleksnya proses
berpikir. Belajar terjadi antara lain meliputi pengaturan stimulus yang didapat
dan disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dipunyai dan terbentuk
dalam pikiran seseorang atas dasar pemahaman dan pengalaman. Teori belajar
kognitif menerangkan belajar dengan cara fokus pada perubahan proses jiwa dan
struktur yang terjadi sebagai akibat dari usaha untuk memahami kehidupan. Teori
kognitif yang dipakai untuk menerangkan tugas yang sederhana seperti mengingat
nomor telepon dan kompleks dan memesahkan masalah yang tidak jelas.
Ada empat prinsip dasar teori
kognitif yaitu pembelajar aktif dalam usaha untuk memahami pengalaman,
pemahaman bahwa murid meningkatkan tergantung pada apa yang sudah mereka
ketahui, belajar membangun pengertian dari pada catatan, belajar merupakan
perubahan dalam struktur jiwa seseorang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Belajar Kognitif
Perilaku
individu selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan memikirkan atau
mengenal situasi dimana perilaku itu terjadi. setiap orang telah mempunyai
pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Menurut teori ini, proses belajar
akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. Pentingnya mempelajari kognisi adalah
kelebihan manusia berada pada kognisi, jadi ketika akan mempelajari manusia maka pelajarilah juga struktur
kognisinya.
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah
pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah
perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya,
kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah
psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang
meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman,
memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan
masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk
kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan
afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis,
tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
B.
Karakteristik
Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses
belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses
berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi danpemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku
yang bisa diamati.
C. Tokoh-Tokoh Teori Kognitif
JEAN PIAGET
(1896 – 1980)
Jean
Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927
sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget
menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan
dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif.
Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi
serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu. Jean
Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih
dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia
masih kecil.
Piaget
memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme
adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan : (i)
Refleks-refleks pembawaan ; misalnya bernapas, makan, minum, (ii) Scheme mental
; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku
yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati
Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan hal-hal
yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan
ekuilibrium (equilibrium), namu ketika anak
menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada,
anak mengalami sensasi disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak
menyenangkan. Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak :
seorang anak yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak
besar, karena ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia
memiliki konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama
kalinya, konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun
bisa terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan
kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui.
Misalnya : seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal
kedua binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun
bentuk tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan
sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama. Perkembangan skemata ini berlangsung
terus -menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut
membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas
skema ini, makin baik pulalah pola penalaran dan tingkat intelegensi anak itu.
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, (1) Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan diatas, (2) Isi ; disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. (3) Fungsi ; disebut function, yaitu yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektul. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi invariant, yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi ; berupa kecakapan seseorang dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk system-sistem yang koheren. Adaptasi; yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1.
Asimilasi Adalah
proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang
telah terbentuk/proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk
mengatasi masalah dalam lingkungannya.
2.
Akomodasi
Adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke
dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung/ proses perubahan
respons individu terhadap stimuli lingkungan. Dalam struktur kognitif setiap
individu mesti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan
ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat
pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif ini pada dasarnya
adalah perubahan dari keseimbangan yang dimiliki ke keseimbangan baru
yang diperolehnya. Dengan penjelasan diatas maka dapatlah kita ketahui tentang
bagaimana terjadinya pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Pertumbuhan
intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium
– disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium,
individu akan dapat mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih
tinggi.
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN
Piaget mengidentifikasi empat faktor yang
mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu:
1. Kematangan
2. Pengalaman
fisik/lingkungan
3. Transmisi
sosial
4. Equilibrium
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis
Selanjutnya Piaget mengemukakan tentang perkembangan kognitif yang dialami setiap individu secara lebih rinci, mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis
a. tahap sensori motor : 0 – 2 tahun
b. tahap Pra Operasi : 2 – 7 tahun
c. tahap Operasi Konkrit : 7 – 11 tahun
d. tahap Operasi Formal : 11 keatas
Sebaran umur pada seiap tahap ersebut adalah
rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lainnya, antara individu yang satu dengan individu
yang lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil penelitian di Negeri Swiss
pada tahun 1950-an.
Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini,
pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori
(koordinasi
alat indra) Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan
dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya.
Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya
terlihat kemudian menghiang dari pandangannya, asal perpindahanya terlihat.
Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut
tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan
dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya pun mulai dikatakan matang.
Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-simbol,
misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang,
dll. Kesimpulan
pada tahap ini adalah : Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema
dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks.
Pada masa kanak-kanak ini, anak beum mempunyai konsepsi tentang objek yang
tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya.
Tahap Pra Operasi (PreOperational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk
pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di
sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan
sekelompok objek (classifying), menata letak
benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting),
(mairer,
1978 :24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan
pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat
objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakanya berbeda pula. Pada
tahap ini anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep
kekekalan (conservation),
yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dll. Selain dari itu,
cirri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua
aspek atau lebih secara bersamaan. Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak
mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang
dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja.
Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational
Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya
sudah berada di Sekolah Dasar, dan pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah
memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini
terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan
dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara
objek. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran
logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini (karena itu disebut tahap
operasional konkrit). Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak
pada tahap ini masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas
logika. Smith
(1998) memberikan contoh. Anak-anak diberi tiga boneka dengan warna
rambut yang berlainan (Edith, Suzan, dan Lily), tidak mengalami kesulitan untuk
mengidentifikasi boneka yang berambut paling gelap. Namun, ketika diberi
peranyaan, “Rambut Edith lebih terang daripada rambut Lily. Rambut siapakah
yang paling gelap?” , anak-anak pada tahap operasional konkret mengalami
kesulitan karena mereka belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan
lambang-lambang. Kesimpulan pada tahap ini adalah : Anak
telah dapat mengetahui symbol-simbol matematis, tetapi belum dapatt menghadapi
hal-hal yang abstrak (tak berwujud).
Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal ini adalah tahap akhir
dari perkembangan konitif secara kualitatif. Anak pada tahap ini sudah mampu
melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abtrak dan menggunakan
logika. Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu
bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau peristiwanya
berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya
dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, astraksi dan generalisasi. Ia telah
memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan
hubungan di antara hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Sebagai contoh
eksperimen Piaget berikut ini : Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada
gambar “pak Pendek” dan untaian klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi
“Pak Pendek” itu. Kemudian ditambahkan penjelasan dalam bentuk verbal bahwa
“Pak Pendek” itu mempunyai teman “Pak Tinggi”. Lebih lanjut dikatakan
bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak Pendek”empat batang
sedangkan tinggi “Pak Tinggi” enam batang korek api.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi. Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (child, 1977 : 127) Kesimpulan pada tahap ini adalah : Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya system nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip? Dalam memecahkan masalah diatas, anak harus memerlukan operasi terhadap operasi. Karakteristik dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kekampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (child, 1977 : 127) Kesimpulan pada tahap ini adalah : Pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya system nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.
TEORI BRUNER
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli
psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik.
Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi,
belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia sebagai
pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar itu
meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi
pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan
terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu,
didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan
pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu
diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan
oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan
itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa
menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu
menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya
sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar
penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama,
dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan
penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan
kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah. Teori instruksi menurut Bruner
hendaknya mencakup:
1) Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk
mau dan dapat belajar, ditinjau dari segi aktivasi, pemeliharaan dan
pengarahan.
2) Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman
optimal, ditinjau dari segi cara penyajian, ekonomi dan kuasa.
3) Perincian urutan-urutan penyajian materi
pelajaran secara optimal, dengan memperhatikan faktor-faktor belajar
sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan perbedaan
individu.
4) Bentuk dan pemberian reinforcement.
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar
akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan
atau kesimpulan tertentu.
Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu
adalah:
1. tahap informasi, yaitu tahap awal untuk
memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru
2. tahap transformasi, yaitu tahap memahami,
mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk
baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan
3. evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Dalam proses belajar ketiga tahapan ini selalu
terdapat. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi diperlukan agar
dapat ditransformasi. Lama tiap tahapan tidak selalu sama. Hal ini antara lain
juga tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat,
keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri. Konsep ini
juga menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran harus memperhatikan perubahan
kondisi internal peserta didik yang terjadi selama pengalaman belajar diberikan
dikelas. Pengalaman yang diberikan dalam pembelajaran harus bersifat penemuan
yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh informasi dan keterampilan
baru dari pelajaran sebelumya.
Oleh karena itu, konsep pembelajaran ini secara
sadar mengembangkan proses belajar siswa yang mengarah kepada aspek jiwa dan
aspek raga. Sesuai dengan pengertian belajar itu sendiri yaitu serangkaian
kegiatan jiwa raga untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman individu dalam interaksi dengan linkungannya yang menyangkut
kognitif, efektif, dan psikomotorik.
Teori
fre discovery learning bertitik tolak pada teori belajar kognitif, yang
menyatakan belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan ini tidak
selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Asumsi dasar teori
kognitif ini adalah setiap orang memiliki telah memiliki pengetahuan dan
penglaman dalam dirinya. Pengalaman dan pengetauan ini tertata dalam bentuk
struktur kognetif. Proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi
pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara ‘klop’ dengan
struktur kognetif yang sudah dimilki oleh peserta didik.
Menurut
Bruner perkembangan kognetif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan
oleh caranya melihat lingkungan, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
1. Tahap enaktif
Pada
tahap ini anak didik melakukan aktivitas-aktivitasnya dalam usaha memahami
lingkungan. Peserta didik melakukan observasi dengan cara mengalami secara
langsung suatu realitas. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan
motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainnya.
2. Tahap ikonik
Pada tahap ini anak didik melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3. Tahap
simbolik
Pada tahap ini
peserta didik anak didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi
bahasa dan logika serta komunikasi dilakukan dengan pertolongan sistem symbol.
Semakin dewasa seseorang maka system symbol ini semakin dominan. Peserta didik
telah mampu memahami gagasan-gagasan abstrak. Peserta didik membuatabstraksi
berupa teoti-teori, penafsiran, analisis dan sebagainya terhadap realitas yang
telah diamati dan dialami.
Menurut Bruner belajar untuk sesuatu tidak tidak
usah ditunggu sampai peserta didik mencapai tahap perkembangan tertentu.yang
penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan
kepadanya. Dengan kata lain perkembangan kognetif seseorang dapat ditingkatkan
dengan jalan mengatur bahan belajar yang akan dipelajari dan menyajikannya
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam
pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat
diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tetapi disesuaikan
dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Artinya menunutut adanya
pengulangan-pengulangan. Cara belajar terbaik menurut Bruner ini adalah dengan
memahami konsep arti, dan suatu kesimpulan (free discovery lerning). Atau
dapat dikatangan sebagai belajar dengan menemukan (discovery).
Implikasi Konsep
Belajar Penemuan Menurut Jerome Bruner Dalam Kegiatan Pembelajaran.
Meneurut Syiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain
impliklasi konsep belajar discovery dalam pembelajaran yaitu:
1. Simulation, guru
mulai bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik untuk
membaca atau mendengarkan uraian yang memuata uraian permasalahan.
2. Problem Statement, anak didik
diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan. Sebagian besar
memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahakan.
Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statemen) sebagai jawaban
sementara atas pertanyaan yang di ajukan.
3. Data collection, Untuk menjawab
pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, anak didik diberi
kesempatan untuk mengumpulkan (Collection) berbagai informasi yang
relavan, membaca literature,m mengamati obyek, wawancara dengan nara sumber,
melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya.
4. Data prossesing. Semua
informasi hasil bacaan, wawancara observasi, dan sebagainya, semunya diolah,
diacak, diklasifikasikn, ditabulasi, bahkan apabila perlu dihitung dengan cara
tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
5. Verfication, atau pembuktian. Berasarkan
hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau
hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab
atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6. Generalization. Tahap
selanjutnya berdasarkan verfikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan
atau generalisasi tertentu.
Sistem belajar yang dikembangkan Brunner ini
menggunakan landasan pemikiran pendekatan belajar mengajar. Hasil belajar cara
ini lebih mudah dihapal dan diingat, mudah dtransfer untuk memecahkan masalah.
Pengetahuan dan kecakapan anak didikbersangkutan lebih jauhdapat menumbuhkan
motivasi instrik, karena anak merasa puas atas penggunaannya sendiri.
TEORI BELAJAR
BERMAKNA DARI AUSUBEL
Dimensi Belajar
Menurut Ausubel
dalam Andriyani (2008, 3.20) menyatakan bahwa pada dasarnya orang memperoleh
pengetahuan melalui penerimaan, bukan melalui penemuan. Konsep – konsep,
prinsip dan ide-ide yang disajikan pada pelajar akan diterima oleh pelajar.
Dapat juga konsep ini ditemukan sendiri oleh pelajar (Gagne dalam Andriyani,
2008, 3.20).
Menurut Ausubel
dalam Dahar (2011, 94), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi,
yaitu :
1. Dimensi Pertama
Berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan
pada pelajar melalui penerimaan atau penemuan. Pada tingkat pertama dalam
belajar, informasi dapat dikomunikasikan dalam bentuk belajar penerimaan yang
menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar
penemuan yang mengharuskan pelajar untuk menemukan sendiri sebagian atau
seluruh materi yang akan diajarkan.
Ausubel dalam Bell (1978, 131) menggambarkan belajar penerimaan dan belajar
penemuan sebagai berikut :
Belajar penerimaan mempelajari isi pokok apa yang
akan dipelajari dan disajikan kepada peserta didik dalam bentuk catatan, pembelajaran
ini tidak melibatkan penemuan. Ia hanya diperlukan untuk menginternalisasi materi
atau memasukkan ke dalam struktur kognitif nya sehingga tersedia untuk penggunaan
lain dimasa mendatang. Faktor penting dari belajar penemuan adalah bahwa
kandungan utama dari apa yang dipelajari tidak diberikan tetapi harus ditemukan
oleh peserta didik sebelum ia bisa menyimpannya. Setelah tahap ini selesai, isi
ditemukan terinternalisasi seperti dalam pembelajaran reseptif (ekspositori).
Ausubel dalam Thompson (2004, 2) menyatakan bahwa pentingnya perbedaan antara pembelajaran
hapalan dan pembelajaran bermakna. Sebagai perbandingan antara pembelajaran
penerimaan dan pembelajaran penemuan itu penting untuk diketahui meskipun
pendekatan yang berlawanan pada pembelajaran sangat berbeda, itu tidak berada
pada tingkat yang sama pentingnya dengan belajar bermakna.
Pendukung pembelajaran penemuan menyatakan bahwa jenis pembelajaran ini dimana
pengetahuan nyata diperoleh, penyimpanan memori terjamin, dan kesadaran
subverbal pertama kali bertemu Langford dalam Thompson (2004, 2). Good dan
Brophy dalam Thompson(2004, 2) menyatakan bahwa Bruner adalah pendukung
terkemuka pembelajaran penemuan dan mengatakan bahwa pembelajaran yang paling
bermakna terjadi ketika dimotivasi oleh rasa ingin tahu pelajar sendiri dan ditemukan
oleh eksplorasi individu atau kelompok.
Sedangkan Ausubel
dalam (Thompson, 2004, 2) menyatakan bahwa mereka yang berdiri di belakang
pembelajaran penemuan dan mengkritik pengajaran ekspositori adalah mereka yang
paling banyak kehilangan poin penting. Ini artinya, apakah metode dari
pembelajaran adalah penemuan atau penerimaan tidaklah menentukan kebermaknaan
materi.
2. Dimensi Kedua
Menyangkut cara bagaimana pelajar dapat mengaitkan informasi pada
struktur kognitif yang telah ada. Dalam tingkat kedua, pelajar menghubungkan
atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep) yang telah
dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar bermakna.
Menurut Budiningsih (2012, 43) teori-teori belajar yang selama ini masih
banyak menekankan pada belajar asosiatif atau belajar menghapal, belajar
demikian tidak banyak bermakna bagi pelajar. Budiningsih melanjutkan bahwa
belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi pelajar. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki pelajar dalam bentuk struktur kognitif.
Inti dari teori
belajar Ausubel adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna
merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang
relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang (Dahar, 2011, 95).
Belajar bermakna akan terjadi apabila informasi yang baru diterima pelajar
mempunyai kaitan erat dengan konsep yang sudah ada / diterima sebelumnya dan
tersimpan dalam struktur kognitifnya (Andriyani, 2008, 3.20-3.21). Lebih lanjut
Andriyani menyatakan bahwa informasi baru ini juga dapat diterima atau
dipelajari pelajar tanpa menghubungkannya dengan konsep atau pengetahuan yang
sudah ada. Cara belajar ini disebut belajar menghapal.
Tipe Belajar
Menurut Ausubel dan Robinson dalam Slameto (2010, 24) ada empat macam
tipe belajar :
a. Belajar menerima bermakna (Meaningful
Reception Learning)
Belajar
menerima bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada pelajar sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru
itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
b. Belajar menerima yang tidak
bermakna (Reception learning)
Belajar
menerima yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara
logis disampaikan kepada pelajar sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang
baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
c. Belajar penemuan bermakna (Meaningful
discovery learning)
Belajar
dengan penemuan bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya
dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau pelajar menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia
kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
d. Belajar penemuan yang tidak
bermakna (Discovery learning)
Belajar
dengan penemuan tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan
sendiri oleh pelajar tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya,
kemudian dia hafalkan.
Menurut Ausubel dan
Novak (Dahar, 2011, 98) ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu :
1. Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat
2. Informasi
baru tyang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat
meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses
belajar mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.
3. Informasi
yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya, meninggalkan bekas
sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip
walaupun telah lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Kelompok 5: Amnel Indah Lestari 1407010068
Equinoksia Nur Aini 1407010122
Theresia Merista J. Fun 1407010124
0 komentar:
Posting Komentar