MAKALAH
PSIKOLOGI
BELAJAR
TEORI
BELAJAR KOGNITIF
Di
susun oleh :
-
Bagus Panuntun (1407010071)
-
Dennis Hermawan Pambudi (1407010112)
-
Irfan Ibnu Fathoni (1407010126)
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2015
Teori
Belajar Kognitif
Berbeda
dengan teori behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan bahwa
belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon,
melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan
belajarnya. Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari
suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi
tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan
aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas yang
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Teori
Belajar Yang Termasuk Kategori Teori Kognitif
-
Teori Bruner
Dalam
memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya adanya pengaruh
kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dalam teorinya, “free
discovery learning” ia mengatakan bahwa proses belajar akan
berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan pada
siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Menurut
Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara
menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap
perkembangan orang tersebut.
-
Teori J. Piaget
Piaget
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor
aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak
digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif
individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut
Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu
suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan
sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin
komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai
sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan
bahwa daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan
berbeda pula secara kualitatif. Menurut Piaget, proses belajar akan
terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan
ekuilibrasi (penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi).
-
Teori Ausubel
Hakikat
belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan
proses internal. Atau dengan kata lain, belajar merupakan persepsi
dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur
kognitif yang dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik
jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur
kognitif tang telah dimiliki seseorang.
Tahap
Perkembangan Piaget
-
Tahap Sensorimotorik (0-2 tahun)
Dalam
dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap,
mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan
kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang
penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku
yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya
dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser
darinya.
Ciri-ciri
sensorimotorik :
-
Berdasar pada suatu tindakan yang praktis
-
Intelegensi bersifat aksi, bukan refleksi
-
Menyangkut jarak yang pendek antara subjek dan objek
-
Mengenai periode sensorimotor :
-
Umur hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pada faktor lingkungan sosial dan kematangan fisik.
-
Urutan periode tetap
-
Perkembangan gradual dan merupakan proses yang kontinu.
-
Tahap Praoperasional (2-7 tahun)
Dalam
tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk
selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas.
Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat
banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh
egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan
yang berbeda dengannya. Salah satu ciri praoperasional yaitu fungsi
semiotik, antara lain :
-
Adanya imitasi tidak langsung, yaitu membuat imitasi yang secara tidak langsung dari bendanya sendiri. Contohnya seorang anak bermain masak-masakan / pasar-pasaran.
-
Permainan yang simbolis merupakan ungkapan diri anak, contohnya bermain mobil-mobilan dan balok-balok kecil.
-
Menggambar, Anak dapat menggambar realistis tetapi tidak proporsional. Contohnya, gambar rumah dan pepohonan tegak lurus di lereng pegunungan.
-
Mengetahui bentuk-bentuk dasar geometris seperti lingkaran, persegi, dll.
-
Bahasa ucapan. Anak mulai menggunakan suara dalam mempresentasikan benda atau kejadian.
-
Perkembangan bahasa sangat memperlancar perkembangan konseptual anak dan juga perkembangan kognitif anak.
-
Menurut Piaget, perkembangan bahasa merupakan transisi dari sifat egosentris ke interkomunikasi sosial.
-
Tahap Operasi Konkret (7-11 tahun)
Dalam
tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya
mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu
menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra.
Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah
menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang
ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat
saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak
sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang
mengetahui bila membuat kesalahan.
-
Tahap Operasi Formal (11 atau 12 tahun)
Selama
tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai
gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan
beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya
tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit,
mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal
yang bersifat abstrak.
Aplikasi
Teori Belajar Kognitif
Hakekat
belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas
belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi
perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak
pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam
merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan
pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana dilakukan dalam
pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih
bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut:
-
Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
-
Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
-
Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena dengan hanya mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
-
Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
-
Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
-
Belajar memahami akan lebih bermaknsa daripada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dandihubungkan dengan pengetahuan yang telahdimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui siswa. Siswa-siswa akan belajar lebih baik lagi apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu siswa agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
Di
dalam kelas, siswa-siswa hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan teman-temanya. Adanya perbedaan
individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajra siswa. Perbedaan tersebut
misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan
awal, dan sebagainya.
Karakteristik
Teori Bruner
Jerome
S. Bruner adalah seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas
Harvard,
Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran psikologi kognitif
yang memberi dorongan supaya pendidikan memberikan perhatian pada
pentingnya pengembangan berpikir. Jerome S. Bruner yang disebut juga
sebagai Bruner telah banyak memberikan pandangan mengenai
perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau
memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan
menstransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang
bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi.
Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses
aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar
informasi yang diberikan kepada dirinya. Ada tiga proses kognitif
yang terjadi dalam belajar
Jerome
Bruner secara ekstensif telah menulis tentang proses pemikiran
manusia dan bagaimana cara pemikiran tersebut muncul – dan
bagaimana cara yang seharusnya dialami oleh kemunculan tersebut –
selama proses instruksi berjalan. Tulisan-tulisannya tentang dunia
pendidikan menunjukkan kecendrungan filisofis Piaget dan merupakan
harta karun yang penuh dengan gagasan.meskipun pembuktian
eksperimental yang ada di masing-masing gagasan tidak memiliki
tekanan yang cukup dibandingkan dengan yang biasa terjadi dalam dalam
teori-teori kognitif lainnya.Teori belajar dari perkembangan
psikologi pendidikan dengan tiga aliran (teori behavioristik, teori
kognitif dan teori humanistik) yaitu: teori belajar dari psikologi
behavioristik, yang berpendapat tingkah laku manusia dikendalikan
ganjaran (reward) dan penguatan (reinforcement)
dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat
jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavior dengan slimulasi,
teori belajar dari psikologi kognitif yang beranggapan bahwa tingkah
laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi, jadi kaum
kognitif berpandangan tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada
pemahaman (insight) terhadap hubungan-hubungan yang ada di
dalam suatu situasi, teori telajar dari psikologi humanistik
menekankan pada bagaimana individu dipengaruhi dan dibimbing pribadi
yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri
atau dengan kata lain pandangan ini berusaha untuk memahami prilaku
seseorang dari sudut perilaku( behaver). Bukan dari pengamat
(observer).
Teori
belajar Bruner dikenal dengan tiga tahapan belajarnya yaitu, enaktif,
ikonik dan simbolik. Pada dasarnya setiap individu
pada waktu mengalami atau mengenal peristiwa yang ada di dalam
lingkungannya dapat menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa
tersebut di dalam pikirannya, yaitu suatu model mental tentang
peristiwa yang dialaminya.
KARAKTER
TEORI BRUNER
Bruner
ternyata tidak mengambangkan suatu teori belajar yang sistematis.
Yang penting baginya ialah cara-cara bagaimana orang memilih,
mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan
inilah menurut bruner inti dari belajar. Oleh karena itu Bruner
memusatkan perhatiannya pada masalah apa yang dilakukan manusia
dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah
memperoleh informasi yang diskrit itu untuk mencapai pemahaman yang
memberikan kemampuan padanya.
Jerome
Bruner (1915), seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi
belajar kognitif, yang menjabat sebagai direktur pusat untuk studi
kognitif di Harvard University. Teori Bruner tidak mengembangkan
suatu teori bulat tentang belajar sebagaimana yang dilakukan oleh
Robert M. Gagne. Refleksinya berkisar pada manusia pengolah aktif
terhadap informasi yang diterimanya untuk memperoleh Pemahaman.
TAHAP
BELAJAR
Bruner
mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung
hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi
baru, (2) transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan.
Informasi
baru merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang atau informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam
transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan agar
cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita
memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau
dengan mengubah bentuk lain.
Hampir
semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk
menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan
itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes
of presentation)
oleh Bruner. Ketiga cara itu ialah: cara enaktif,
cara ikonik
dan cara simbolik.
Kajian
Bruner menekankan perkembangan kognitif. Ia menekankan cara-cara
manusia berinteraksi dalam alam sekitar dan menggambarkan pengalaman
secara mendalam. Menurut Bruner, perkembangan kognitif juga melalui
tiga tahapan yang ditentukan cara melihat lingkungan, yaitu enaktif
(0-2 tahun), ikonik (2-4 tahun), dan simbolik (5-7 tahun).
-
Tahap enaktif (0-2 tahun), seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya, anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.
-
Tahap ikonik (2-4 tahun), seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komperasi)
-
Tahap simbolik (5-7 tahun), seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses pemikirannya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ekonik dalam proses belajar.
Cara
penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif.
Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa
menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas
penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon
motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana
mengendarai sepeda.
Cara
penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan
disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep,
tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah
segitiga tidak menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian
simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik
dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi
atau pernyataan dari pada objek-objek, memberikan struktur
hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan
alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai
contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan
timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan
”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan
menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh
kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua
dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model
atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti
yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat
dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau
dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan Hukum
Newton tentang momen.
APLIKASI
Teori
pembelajaran Burner mementingkan pembelajaran melalui penemuan bebas
(Free
discovery
learning)
atau penemuan yang dibimbing, atau latihan penemuan. Dengan
mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan. Bruner
mementingkan aspek-aspek berikut dalam teori pembelajarannya yaitu;
cara manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan
pengalamannya, perkembangan mental manusia dan pemikiran semasa
proses pembelajaran, pemikiran secara logika, penggunaan istilah
untuk memahami susunan struktur pengetahuan, pemikiran analisis dan
intuitif, pembelajaran induktif untuk menguasai konsep/kategori, dan
pemikiran metakognitif. Teori-teori tersebut dapat diaplikasikan
dalam 10 cara sebagai berikut:
-
Pembelajaran penemuan
-
Pembelajaran melalui metode induktif
-
Memberi contoh-contoh yarg berkaitan dan tidak berkaitan dengan konsep
-
Membantu siswa melihat hubungan antar konsep
-
Membiasakan siswa membuat pemikiran intuitif
-
Melibatkan siswa
-
Pengajaran untuk pelajar tahap rendah
-
Menggunakan alat bantu mengajar
-
Pembelajaran melalui kajian luar
-
Mengajar mengikuti kemampuan siswa
TEORI
BELAJAR BERMAKNA DARI AUSUBEL
Teori
Belajar Ausubel
Proses
belajar terjadi bila siswa mampu mengasimilasikan pengatahuan yang di
miliki dengan pengtahuan baru. Psikologi pendidikan yang diterapkan
oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang
bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
JENIS
BELAJAR
Menurut
Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful
learning)
dan (2) belajar menghafal (rote
learning).
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang
yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa
berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau
yang dibaca tanpa makna.
Ausubel
menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan
dalam belajar melalui bahasa (meaningful
verbal learning).
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal,
konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena
itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai
belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa
menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan
sendiri semuanya.
Pemerolehan
informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam
hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi
kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk
mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh
siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang
disampaikan gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful
learning)
yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan
dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang
dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang
dimilikinya.
Dua
syarat untuk materi
yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan
yang telah dipunyai sebelumnya.
a.
Materi
yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan
dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b.
Diberikan
dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang
peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak
akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak
mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga
hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara
hafalan.
Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah
struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan
dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang
belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang
telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia
pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam system pengertian
yang telah dipunyainya.
Ausubel
berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif
siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada
tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak
beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran.
Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih
efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi,
diagram dan ilustrasi.
Empat
tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1.
Belajar
dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang
telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau
siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian
pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2.
Belajar
dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari
ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3.
Belajar
menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir,
kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang
ia miliki.
4.
Belajar
menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran
yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
Berdasarkan
uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu
proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran
bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai
tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi
belajar yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan
demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan
ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak
setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery
learning)
lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception
learning).
Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi
peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan
belajar yang baik.
Kelebihan
teori belajar Ausubel antara lain :
1.
Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat. Hal ini
disebabkan karena pembelajaran yang bermakna tersebut. Jika kita
mempelajari sesuatu dan dapat mengambil maknanya, sama artinya dengan
kita telah mengetahui konsep dasar dari pelajaran yang diajarkan
tersebut. Jadi jika kita dapat mengingatnya lebih lama.
2.
Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan
sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya
sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya untuk memberi
pelajaran yang mirip.
3.
Informasi yang telah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya
masih meninggalkan bekas, sehingga memudahkan proses belajar mengajar
untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah lupa.
0 komentar:
Posting Komentar