KELOMPOK
9
MAKALAH
PSIKOLOGI BELAJAR
TEORI BELAJAR KOGNITIF
BAB I
PENDAHULUAN
Teori belajar kognitif
lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut
aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan
antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang
mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon, model
belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut
sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan
pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga
menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan
seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi
situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan
mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi,
pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima
dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk
di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam
rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J.
Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi
belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan
diuraikan lebih rinci beberapa pandangan mereka.
Pengertian Teori Belajar Kognitif
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan : pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek tenaga pendidik misalnya. Seorang guru diharuskan memiliki kompetensi bidang kognitif. Artinya seorang guru harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan cara menilai siswa dan sebagainya.
1. Teori
Belajar Kognitif Piaget
Teori
perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang menjelasakan
bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek dan
kejadian-kejadian sekitarnya. Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi
dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan makanan serta objek-objek sosial
seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana cara anak mengelompokan objek-objek
untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya, untuk memahami
penyebab terjadinya perubahan dalam objek-objek dan perisiwa-peristiwa dan
untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa tersebut. Piaget
memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya
mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses
berfikir dalam konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh
pengalaman dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam
menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui pengalaman, serta dalam
mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia punya.
Teori
Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini yang menekankan pada proses
mental. Piaget mengambil perspektif organismik, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia
mereka. Menurut Piaget, bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan kemampuan
bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan kemampuan bawaan yang
bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi mewarisi reflek-reflek
seperti reflek menghisap. Reflek ini sangat penting dalam bulan-bulan pertama
kehidupan mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada perkembangan
selanjutnya.
2.Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif
Menurut
Piaget, pikiran anak-anak dibentuk bukan oleh ajaran orang dewasa atau pengaruh
lingkungan lainnya. Anak-anak memang harus berinteraksi dengan lingkungan untuk
berkembang, namun merekalah yang membangun struktur-struktur kognitif baru
dalam dirinya. Piaget juga yakin bahwa individu melalui empat tahap dalam
memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara
berfikir yang khas/berbeda.
Tahapan perkembangan kognitif
menurut Piaget adalah sebagai berikut:
1. Tahap Sensori Motor.
1. Tahap Sensori Motor.
Tahap ini
merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai sejak lahir sampai usia 2 tahun.
Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan
pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan
tindakan-tindakan fisik. Dengan berfungsinya alat-alat indera serta kemampuan
kemampuan-kemampuan melakukan gerak motorik dalam bentuk refleks ini, maka
seorang bayi berada dalam keadaan siap untuk mengadakan hubungan dengan
dunianya.
Piaget
membagi tahap sensori motor ini kedalam 6 periode, yaitu:
a. Periode 1: Penggunaan
Refleks-Refleks (Usia 0-1 bulan)
Refleks yang paling jelas pada
periode ini adalah refleks menghisap (bayi otomatis menghisap kapanpun bibir
mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala pada sumber rangsangan secara
lebih tepat dan terarah. Misalnya jika pipi kanannya disentuh, maka ia akan menggerakkan
kepala kearah kanan.
b. Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer
(Usia 1-4 bulan)
Reaksi ini
terjadi ketika bayi menghadapi sebuah pengalaman baru dan berusaha mengulanginya.
Contoh: menghisap jempol.
c. Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder
(Usia 4-10 bulan)
Reaksi
sirkuler primer terjadi karena melibatkan koordinasi bagian-bagian tubuh bayi
sendiri, sedangkan reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan dan
menghasilkan kembali peristiwa menarik diluar dirinya.
d. Periode 4: Koordinasi skema-skema
skunder (Usia 10-12 bulan)
Pada
periode ini bayi belajar untuk mengkoordinasikan dua skema terpisah untuk
mendapatkan hasil. Contoh: suatu hari Laurent (anak Piaget) ingin memeluk kotak
mainan, namun Piaget menaruh tangannya ditengah jalan. Pada awalnya Laurent
mengabaikan tangan ayahnya. Dia berusaha menerobos atau berputar
mengelilinginya tanpa menggeser tangan ayahnya. Dalam kasus ini,
e.
Periode
5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18 bulan)
Pada periode 4, bayi memisahkan dua tindakan untuk mencapai
satu hasil tunggal. Pada periode 5 ini bayi bereksperimen dengan tindakan-tindakan
yang berbeda untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Contoh: Suatu hari
Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli Piaget. Dia memukulnya dengan
telapak tangannya beberapa kali. Kadang keras dan kadang lembut untuk
mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh tindakannya.
f.
Periode
6: Permulaan Berfikir (Usia 18-24 bulan)
Pada periode 5 semua
temuan-temuan bayi terjadi lewat tindakan fisik, pada periode 6 bayi
kelihatannya mulai memikirkan situasi secara lebih internal sebelum pada akhirnya
bertindak. Jadi, pada periode ini anak mulai bisa berfikir.dalam mencapai
lingkungan, pada periode ini anak sudah mulai dapat menentukan cara-cara baru
yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan internal, tetapi juga dengan
koordinasi internal dalam gambaran atau pemikirannya.
2. Tahap Pemikiran Pra-Operasional
Tahap ini berada pada rentang usia antara
2-7 tahun. Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan
gambar-gambar atau simbol. Menurut Piaget, walaupun anak-anak pra sekolah dapat
secara simbolis melukiskan dunia, namun mereka masih belum mampu untuk
melaksanakan “ Operation (operasi) ”, yaitu tindakan mental yang
diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental yang sebelumnya
dilakukan secara fisik. Perbedaan tahap ini dengan tahap sebelumnya adalah “
kemampuan anak mempergunakan simbol”. Penggunaan simbol bagi anak pada tahap
ini tampak dalam lima gejala berikut:
a.
Imitasi
tidak langsung
b.
Permainan
Simbolis
c.
Menggambar
d.
Gambaran
Mental
e.
Bahasa
Ucapan
3.
Tahap
Operasi berfikir Kongkret
Tahap ini berada pada rentang usia
7-11 tahun.tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang
didasarkan pada aturan-aturan yang logis. Anak sudah mengembangkan operasi
logis. Proses-proses penting selama tahapan ini :
a.
Pengurutan
b.
Klasifikasi
c.
Decentering
d.
Reversibility
e.
Konservasi
f.
Penghilangan
sifat Egosentrisme
4.
Tahap Operasi berfikir Formal
Tahap
operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus berlanjut
sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari
informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal
seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari faktor biologis, tahapan
ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya),
menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
1.
Biografi
J. S. Bruner
Bruner yang
memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi
kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada
pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai
perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan
dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa
manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan
belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan
hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya.
2.
Teori
Belajar Bruner
Belajar
merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi
perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui
tahap-tahap yang antara satu dan lainnya bertalian secara berurutan dan
fungsional. Dalam memandang proses belajar, Brunner menekankan adanya
pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang
disebut “(Free discovery learning)” (Budiningsih,2008). Ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Dengan
kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.
Misalnya untuk memahami konsep kejujuran, siswa pertama-tama tidak menghafal
definisi kata kejujuran, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang
kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata
“kejujuran”.
Sementara
ditinjau dari arti katanya “discover” berarti menemukan dan “discovery”
adalah penemuan. Robert B. menyatakan bahwa discovery adalah proses
mental di mana anak/individu mengasilmilasi konsep dan prinsip (Ahmadi,2005).
Jadi, seseorang siswa dikatakan melakukan discovery bila anak terlihat
menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip. Proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati,
menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan.
Selain itu Bruner menganggap, bahwa belajar itu
meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi
pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Dalam teori
belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik
dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan
tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap (Muhbidin
Syah,2006:10). Ketiga tahap itu adalah:
1. Tahap
informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2. Tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal
yang lain,
3. Evaluasi,
yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar
atau tidak.
Dalam
mengajar guru tidak menyajikan bahan pembelajaran dalam bentuk final, tetapi
anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan
menggunakan teknik pendekatan pemecahan masalah. Secara garis besar,
prosedurnya (Ahmadi,2005) sebagai berikut :
}
Stimulus (pemberian
perangsang/stimuli) : Kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan
yang merangsang berfikir si belajar, menganjurkan dan mendorongnya untuk
membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah.
}
Problem Statement
(mengidentifikasi masalah) : Memberikan kesempatan kepada si belajar untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan belajar
kemudian memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa (jawaban sementara dari
masalah tersebut).
}
Data Collection
(pengumpulan data) : Memberikan kesempatan kepada para si belajar untuk
mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesa tersebut.
}
Data Processing (pengolahan
data) : Mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara,
observasi dan lain-lain. Kemudian data tersebut ditafsirkan.
}
Verifikasi maksudnya
yaitu mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar dan tidaknya
hipotesis yang diterapkan dan dihubungkan dengan hasil dan processing.
}
Generalisasi maksudnya
yaitu mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum dan berlaku
untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil
verifikasi.
Menurut
Brunner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun
mata pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang
tersebut. Gagasanya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum)
sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro,
menunjuk cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara
umum dan kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam
cakupan yang lebih rinci. (Budiningsih,2008:42).
Pendekatan
penataan materi dan umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum
spiral merupakan bentuk penyesuaian antara materi dipelajari dengan tahap
perkembangan kognitif orang yang belajar. Sejalan dengan pernyataan di atas,
maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap
perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik
maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain perkembangan kognitif seseorang
dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan
menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Brunner
perkembangan kognitif seseorang terjadi melaui tiga tahap pembelajaran yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu :
a. Tahap
enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami
lingkungan sekitar, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan
sebagainya.
b. Tahap
Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar atau
visualisasi verbal. Maksudnya dalam memhami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap
Simbolik, seseorang telah mampu memilki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami
dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika dan
sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol.
Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem
simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem
enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan
salah satu bukti masih diperlukannnya sistem enaktif dan ikonik dalam proses
belajar.
3. Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner
Pendirian
yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata
pelajaran dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara
intelektual kepada setiap anak dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya
ini didasarkan sebagian besar atas penelitian Jean Piaget tentang
perkembangan intelektual anak. Menurut penelitian J. Piaget,
perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf, di antaranya
yaitu:
1.
Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra
sekolah, jadi tidak berkenaan dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum
dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif pribadinya
dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum dapat memahami dasar
matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berunah bila
bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep
tertentu kepada anak sangat terbatas.
2.
Fase operasi kongkrit, pada taraf
ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam menghadapi suatu masalah ia
tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah
dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf operai kongkrit ini ia
hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum
mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau
yang belum pernah dialami sebelumnya.
3.
Fase operasi formal, pada taraf
ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan kemungkinan hipotesis dan
tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya.
4. Teori Bruner
} Jika
mempelajari suatu pengetahuan, maka perlu dipelajari dalam tahap-tahap
tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran
(struktur kognitif) orang tersebut.
} Jerome
Bruner dilahirkan dalam tahun 1915.
} Bruner
setuju dengan pendapat Piaget bahwa perkembangan kognitif anak-anak melalui
peringkat-peringkat tertentu.
} Bruner
lebih menegaskan tentang belajar secara penemuan yaitu mengolah apa yang
diketahui anak itu menjadi sesuatu hal yang baru.
} Pengetahuan
yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek
transfer yang lebih baik.
} Belajar
penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih
keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.
5. Karakteristik Teori Bruner
} Belajar
penemuan (discovery learning) : pencarian pengetahuan secara aktif oleh anak
sehingga memberikan hasil yang paling
baik.
} Bruner
menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip.
}
Anak dianjurkan untuk memperoleh
pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang memungkinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu
sendiri.
6. Tahap Belajar
} Tahap
enaktif, yaitu pengetahuan itu dipelajari secara
aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang
nyata.
} Tahap
Ikonik, yaitu pegetahuan itu direpresentasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau
diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat
pada tahap enaktif tersebut di atas.
} Tahap
simbolik, yaitu pengetahuan itu direpresentasikan dalam
bentuk simbol-simbol baik simbol-simbol verbal Misalnya huruf-huruf, kata-kata,
kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak
lainnya.
7.
Aplikasi
1.
Observing (mengamati) melihat,
mengamati, membaca, mendengar, menyimak (tanpa dan dengan alat)
2.
Questioning (menanya) mengajukan
pertanyaan dari yang aktual sampai ke yang bersiat hipotesis. Diawali dengan
bimbingan guru sampai dengan mandiri (menjadi suatu kebiasaan).
3.
Explor atau Experimenting (mencoba)
menentukan data yang diperlukan dari pertanyaan yang diajukan, menentukan
sumber data (benda, dokumen, buku, eksperimen), dan mengumpulkan data.
4.
Associating (menalar) menganalisis data
dalam bentuk membuat kategori, menentukan hubungan data atau kategori,
menyimpulkan dari hasil analisis data, dimulai dari unstructured-uni structure-multi
structure-complicated structure.
5.
Communicating (mengkomunikasikan)
menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, diagram, bagian,
gambar atau media lainnya.
3.TEORI BELAJAR BERMAKNA DARI AUSUBEL
1.
Pengertian
belajar bermakna
menurut David P. Ausubel ada dua jenis belajar:
a. Belajar
Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna
bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan
struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu
dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajarnya mudah
dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
b.
Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok
dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus
dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang
memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak
berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.
2.
Teori Bermakna Ausubel
c.
Proses Belajar terjadi bila siswa mampu
mengasimilasikan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru.
d. Proses
Belajar terjadi melalui tahap-tahap:
· memperhatikan
stimulus yang diberikan
· memahami
makna stimulus
· menyimpan
dan menggunakan informasi
· yang
sudah dipahami
3.
Jenis Belajar
} belajar
hafalan (rote-learning) = siswa mengingat sesuatu tanpa mengaitkan dengan
hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan
sebagai hafalan (rote) dan tidak akan bermakna (meaningless) sama
sekali baginya.
} belajar
bermakna.
4.
Belajar bermakna
} Merupakan
suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep – konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
} Struktur
kognitif meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi
yang telah dipelajari dan diingat siswa.
} Pengetahuan
yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses
pembelajaran.
5.
Tipe Belajar
} Belajar dengan penemuan yang bermakna mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu.
} Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu
pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
} Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu
materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa
sampai selesai kemudian dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
} Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna
yaitu
materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa
sampai selesai, kemudian dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain
yang telah ia miliki.
6.
Kelebihan Belajar Bermakna
} Informasi
yang dipelajari lebih lama diingat.
} Informasi
baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat
meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses
belajar berikutnya.
7. Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu
disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya
dimensi kedua menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu
pada struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba
menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur
kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta
didik menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur
kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
8.
Faktor- Faktor
Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Anak mengubah untuk memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide
apa yang ia inginkan dan memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut.
Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang anak
berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib atau
lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat juga ia
melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah
rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan
dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh anak -anak. Memang
antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat erat. Kita semua tahu
bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme psikologis mengenai
hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi
imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi
melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran, sedangkan
akomodasi melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang
baru. Pada sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau
asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan
oleh yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk
tahapan tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi
(equilibration). Ekuilibrasi adalah kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur.
9.
Metode
Ekspositori
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya
kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada
metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak
terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan
contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak
hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan
bertanya kalau tidak mengerti. Kalau dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan
belajar mengajar, metode ceramah lebih terpusat pada guru daripada metode
ekspositori. Pada metode ekspositori peserta didik belajar lebih aktif
daripada metode ceramah. Peserta didik mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin
juga saling bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya, atau disuruh
membuatnya di papan tulis.
Ausubel membedakan belajar menjadi:
a. Belajar
dengan menerima (reception learning), dan
b. Belajar
melalui penemuan (discovery learning)
Kalau materi yang disajikan kepada
peserta didik lengkap sampai bentuk akhir yang berupa rumus atau pola
bilangan, maka cara belajar peserta didik dikatakan belajar menerima. Misalnya
luas segitiga diberikan lengkap sampai rumus . Pada belajar dengan penemuan, bentuk
akhir yang berupa rumus, pola, atau aturan itu harus ditemukan sendiri oleh
peserta didik. Proses penemuannya dapat dilakukan sendiri atau dapat pula
dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula menjadi:
a.
Belajar dengan menghafal (rote learning), dan
b.
Belajar dengan pengertian (meaningful learning)
Belajar dengan menerima dan belajar
melalui penemuan kedua-duanya bisa menjadi belajar dengan menghafal atau
belajar dengan pengertian. Kalau seorang anak belajar teorema Phytagoras
lengkap hingga rumusnya dengan cara menerima, selanjutnya rumus itu selalu
dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dan sisi miring segitiga
siku-siku, maka belajar menerima itu menjadi belajar dengan pengertian.
Juga, bila seorang peserta didik memperoleh teorema Phytagoras itu melalui
penemuan dan kemudian rumusnya selalu dikaitkannya dengan hubungan antara
ukuran sisi siku-siku dengan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar
dengan penemuan itu menjadi belajar dengan pengertian. Jika dua orang peserta
didik belajar ; seorang belajar dengan menerima dan yang seorang lagi belajar
dengan penemuan, tetapi selanjutnya mereka hanya menghafal bentuk akhir itu
sebagai aturan untuk melakukan pembagian dengan pecahan, maka belajar
mereka akhirnya hanya belajar menghafal saja.
10.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan cara
menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut
silogisme. Ini terdiri dari 2 macam pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan
(konklusi). Kedua pernyataan pendukung silogisme disebut premis (hipotesis)
yang dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh
sebagai hasil penalaran deduktif berdasarkan macam premis itu.
Mengajarkan konsep dengan pendekatan
deduktif dimulai dengan contoh-contoh yang dapat diberikan oleh guru atau
dicari oleh murid. Karena itu, guru harus dapat memperkirakan pendekatan
mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas. Ada
baiknya, para guru matematika sewaktu-waktu bertukar pendapat mengenai
pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu
kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari pengalaman merupakan
salah suatu sumber pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, Dewi. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta : Universitas Terbuka
Budiningsih, Asri. 2012. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta : Rineka Cipta
Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-Teori Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta : Erlangga
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi. Jakarta : Rineka Cipta
Dalyono, M., Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta: Jakarta,
1997.
Disusun Oleh :
1.
Mukaromah (1407010066)
2.
Yunita
Larassati (1407010070)
3.
Nur
Aulia (1407010076)
4.
Usi
Woro. M (1407010088)
0 komentar:
Posting Komentar