Senin, 14 Desember 2015

TEORI BELAJAR KOGNITIF KELOMPOK 2

ASUMSI DASAR 
     Perilaku individu selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan memikirkan atau menegenal situasi dimana perilaku itu terjadi. Pentingnya mempelajari kognisi, kelebihan manusia ada di kognisi. Jadi kalau mau mempelajari manusia maka pelajarilah juga kognisinya. 
       Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengetahuan dan pengalaman ini tertata dalam struktur kognitif. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru diadaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. 
     Teori ini lebih menekankan kepada proses belajar daripada hasil belajar. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa : 
  1. Individu mempunyai kemampuan memproses informasi. 
  2. Kemampuan memproses informasi tergantung kepada faktor kognitif yang perkembangannya berlangsung secara bertahap sejalan dengan tahapan usianya. 
  3. Belajar adalah proses internal yang kompleks berupa pemrosesan informasi.
  4. Hasil belajar adalah berupa perubahan struktur kognitif.
  5. Cara belajar pada anak-anak dan orang dewasa berbeda sesuai tahap perkembangannya.
KOGNITIVISME
Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, persepsi, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap. 
Proses Belajar Mengajar 

Kritik: Teori kognitif lebih dekat kepada psikologi daripada kepada teori belajar, sehingga aplikasinya dalam proses belajar mengajar tidaklah mudah. Sukar dipraktekkan secara murni sebab seringkali kita tidak mungkin memahami “struktur kognitif” yang ada dalam benak setiap siswa.

TEORI BELAJAR YANG MASUK KATEGORI TEORI KOGNITIF

1. Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”
   Tahap-tahap Perkembangan Piaget: 
1. Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun) 
  Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. 
Ciri-ciri sensorimotor:
Didasarkan tindakan praktis.
Inteligensi bersifat aksi, bukan refleksi.
Menyangkut jarak yang pendek antara subjek dan objek.
Mengenai periode sensorimotor: 
• Umur hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pada banyak faktor lingkungan sosial dan kematangan fisik. 
• Urutan periode tetap. 
• Perkembangan gradual dan merupakan proses yang kontinu. 

2. Tahap Praoperational (2-7 tahun) 
   Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap praoperational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata.
Fungsi Semiotik pada beberapa gejala 
  1. Imitasi tak langsung (panah) membuat imitasi yang secara tidak langsung dari bendanya sendiri. Contoh: anak bermain kue-kuean sendiri, pasar-pasaran. 
  2. Permainan simbolis. Contoh: mobil-mobilan dengan balok-balok kecil. 
  3. Permainan simbolis dapat merupakan ungkapan diri anak. 
  4. Menggambar. Anak dapat menggambar realistis tetapi tidak proporsional. Contoh: gambar rumah dan pepohonan tegak lurus di lereng pegunungan. 
  5. Mengetahui bentuk-bentuk dasar geometris: bulat, bundar, persegi. 
  6. Bahasa ungkapan. Anak mulai menggunakan suara sebagai representasi benda atau kejadian. 
  7. Perkembangan bahasa sangat memperlancar perkembangan konseptual anak dan juga perkembangan kognitif anak. 
  8. Menurut Piaget: perkembangan bahasa merupakan transisi dari sifat egosentris keinterkomunikasi sosial. 

3. Tahap Operasi Konkrit (7-11 tahun)
  Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata). 

4. Tahap Operasi Formal (11-15 tahun) 
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis. 
• Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak. 
• Anak hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru. 
• Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada anak agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. 
• Bahasa dan cara berfikir siswa berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir siswa. 
• Siswa-siswa akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu siswa agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. 
• Bahan yang harus dipelajari siswa hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. 
• Berikan peluang agar siswa belajar sesuai tahap. 
• Di dalam kelas, siswa-siswa hendaknya diberi peluang unuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya. 

2. Jerome S. Bruner 
   Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya. 

a. Karakteristik Teori Bruner 
Jerome S. Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa : 
  1. Belajar akan lebih berhasil jika proses pengajaran di arahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang di ajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan sruktur yang tercakup dalam bahan yang sedang di bicarakan, anak akan memahami materi yang harus di kuasainya itu. 
  2. Proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melaui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang di perhatikanya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Dengan memanipilasi alat-alat peraga, siswa dapat belajar melaui keaktifanya.
  3. Belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar (melebihi) informasi yang di berikan pada dirinya. 
b. Tahap-tahap Belajar 
  1. Tahap Enaktif Dalam memahami dunia anak menggunakan pengetahuan motorik; sentuhan, pegangan, dan lain-lain.
  2. Tahap Ikonik Seseorang memahami objek-objek dunianya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal.
  3. Tahap Simbolik Seseorang memahami dunia melalui simbol-simbol bahasaa, logika, matematika, dan lain-lain. 

c. Aplikasi Teori Kognitif Bruner 
  1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional 
  2. Memilih materi pelajaran 
  3. Menentukan topik yang bisa dipelajari secara induktif oleh mahasiswa 
  4. Mencari contoh, tugas, ilustrasi, dan sebagainya. 
  5. Mengatur topik-topik mulai dari yang paling konkrit ke abstrak, dari yang sederhana ke komplek, dari tahap enaktif, ikonik ke simbolik, dan sebagainya. 
  6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar d. Kegiatan dan Aktivitas Belajar Teori Belajar Bruner 

3. David P. Ausubel 
a. Teori Bermakna Ausubel 
Belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi, dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. 

b. Jenis Belajar 
1. Belajar Hafalan Siswa mengingat sesuatu tanpa mengaitkan dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya. 
2. Belajar Bermakna Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1968). Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Walaupun tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpan pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak terlibat dalam penyimpanan pengetahuan itu. Dengan berlangsungnya belajar, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang dipelajari. 

3. Tipe Belajar Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu: 
a. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
b. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan. 
c. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki. 
d. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki. 

4. Kelebihan Belajar Bermakna 
Kelebihan Belajar Bermakna Menurut Ausubel dan Novak (Dahar, 1996 : 115) ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu: 
a. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat. 
b. Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip. 
c. Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah lupa. 

DAFTAR PUSTAKA 
Nasution, S. 2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Simanjutak, Lisnawaty. 1993. Metode Mengajar Matematika, Jakarta: PT Rineka Cipta. Soemanto,
Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Abu Ahmadi dan
Widodo Supriono. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. (online), http://donnarhamdan.blogspot.co.id/2011/10/teori-kognitivisme.html (diakses pada tanggal 14 Desember 2015).
W.S Winkel. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo. (online), http://donnarhamdan.blogspot.co.id/2011/10/teori-kognitivisme.html (diakses pada tanggal 14 Desember 2015).
Mulyati. 2005. Psikologi Belajar, Yogyakarta: C.V. Andi Offset. (online), https://8tunas8.wordpress.com/teori-belajar-mengajar-menurut-jerome-s-bruner/ (diakses pada tanggal 14 Desember 2015). 
http://www.kompasiana.com/murdanismenulis/david-ausubel-belajar-bermakna_552c15da6ea834154d8b456f (diakses pada tanggal 14 Desember 2015). 

KELOMPOK 2 
PSIKOLOGI BELAJAR 
Annisa Rafika F          (1107010046) 
Nunu                           (1407010065) 
Anisa Nurul K              (1407010080) 
Dea Asri Oktiarini        (1407010091)

0 komentar:

Posting Komentar